Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL. Tampilkan semua postingan

Contoh Artikel Studi Kasus Siswa Berkesulitan Belajar Dalam Membaca


STUDI KASUS
SISWA BERKESULITAN BELAJAR DALAM MEMBACA

Nama Penyusun ................

Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan,Universitas Pendidikan Indonesia

Penelitian ini mendeskripsikan tentang kasus kesulitan belajar dalam membaca yang dialami seorang siswa yang bernama Sabila (nama disamarkan). Sabila merupakan seorang siswa kelas II dari Sekolah Dasar Negeri ......... Penelitian bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar dalam membaca yang dialami Sabila, dan hasil belajarnya. Metode penelitian yang digunakan yaitu studi kasus dengan desain penelitian kualitatif.. Untuk memperoleh data peneliti  menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara dan studi dokumnetasi. Subyek penelitian dalam penelitian ini yaitu Sabila dan untuk mendapatkan informasi, peneliti memilih beberapa narasumber yaitu Sabila, guru kelas II, keluarga Sabila dan teman Sabila. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar membaca yang dialami Sabila. Faktor tersebut secara umum dikategorikan pada faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal mencakup faktor fisiologis (kesehatan fisik) dan faktor psikologis (motivasi, ingatan dan konsentrasi yang kurang). Sedangkan faktor eksternal mencakup lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan teman sebaya yang kurang menunjang. Karena kesulitan membaca yang dialami Sabila ini menyebabkan prestasi belajarnya kurang memuaskan. Dari sebelas mata pelajaran yang diajarkan, hanya empat pelajaran yang nilainya sudah memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), sedangkan tujuh pelajaran lainnya masih dibawah KKM. Apabila nilai hasil belajar Sabila di semester genap nanti masih dibawah KKM maka Sabila belum bisa naik ke kelas III. Karena selain kurang dari KKM, ia pun belum bisa menyelesaikan tugas perkembangannya di kelas II yang dikhawatirkan ia akan tertinggal jauh dibanding dengan teman-temannya. Untuk itu direkomendasikan kepada keluarga harus memberikan semangat, motivasi dan perhatian dalam kegitan belajarnya dan jangan pernah mencela terhadap kekurangan yang dimilikinya, guru dalam menggunakan metode pembelajaran dan media harus lebih bervariatif serta melaksanakan tugas pokok guru sebagai pembimbing siswa berkesulitan belajar dan kepada Sabila untuk lebih giat belajar, dan berlatih membaca.

Kata kunci : kesulitan belajar, membaca

Membaca merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa yang harus dimiliki oleh seorang siswa, disamping tiga keterampilan berbahasa lainnya yaitu menyimak, berbicara dan menulis. Keterampilan membaca dinilai sangat penting dimiliki oleh seorang siswa karena merupakan salah satu cara untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Menurut Tarigan (dalam Resmini dan Juanda, 2007, hlm. 74) membaca adalah “kegiatan berinteraksi dengan bahasa yang dikodekan dalam bentuk cetakan (huruf-huruf)”. Dengan demikian membaca sebetulnya merupakan aktivitas menguraikan kode-kode tulisan ke dalam bunyi atau menguraikan kode-kode grafis yang mewakili bahasa ke dalam makna tertentu.
Di sekolah dasar membaca dapat dibagi menjadi dua tahapan. Untuk kelas rendah (kelas I,II, dan III) disebut dengan membaca permulaan. Dan untuk kelas tinggi (IV,V, dan VI) disebut membaca lanjut. Membaca permulaan yang mulai diajarkan sejak siswa duduk di kelas I, merupakan pondasi untuk siswa. Disebut pondasi karena setiap kegiatan belajar yang dilakukan akan berhubungan dengan membaca. Tanpa keterampilan membaca siswa tidak bisa menyelesaikan tugas dalam bentuk tulisan yang diberikan kepadanya, karena siswa tidak mengerti maksud dari tulisan tersebut. Selain itu, membaca permulaan juga sebagai dasar untuk dapat membaca lanjut.
Belajar keterampilan membaca juga merupakan salah satu tugas perkembangan anak usia sekolah. Membaca telah diajarkan karena pertumbuhan jasmani dan rohaninya sudah cukup matang untuk menerima pengajaran (Budiman, 2012, hlm. 20). Apabila siswa gagal dalam melaksanakan tugas perkembangannya dalam hal ini belajar membaca hal ini akan mengakibatkan pola perilaku yang tidak matang sehingga sulit diterima oleh kelompok teman-temannya dan tidak mampu menyamai teman sebayanya yang sudah menguasai tugas perkembangan tersebut .
Tapi fakta yang terjadi di sekolah dasar, di kelas rendah bahkan di kelas tinggi terdapat siswa yang belum bisa membaca. Ketidakmampuan membaca ini salah satu sebabnya karena siswa tersebut mengalami kesulitan belajar yaitu  kesulitan belajar dalam membaca. Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai dengan hambatan-hambatan tertentu, dalam mencapai tujuan belajar. Jadi siswa yang mengalami kesulitan belajar akan menghadapi hambatan-hambatan tugas-tugasnya di sekolah.
Penelitian yang membahas mengenai kasus siswa berkesulitan belajar dalam membaca ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan faktor – faktor penyebab kesulitan belajar dalam membaca yang dialami Sabila serta prestasi belajarnya.


METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yaitu metode untuk menghimpun dan menganalisis data berkenaan dengan sesuatu kasus (dalam Sukmadinata, 2011: hlm. 77). Kasus yang dibahas dalam penelitian ini adalah kasus seorang siswi kelas II SD yang mengalami kesulitan belajar dalam membaca. Kasus ini sama sekali tidak mewakili populasi dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh kesimpulan dari populasi. Kesimpulan studi kasus hanya berlaku untuk kasus tersebut. Karena setiap kasus itu bersifat unik atau memiliki karakteristik sendiri yang berbeda dengan kasus lainnya (Sukmadinata, 2011: hlm.64).
Subjek dalam penelitian ini adalah seorang siswi kelas II Sekolah Dasar Negeri ........ Kota Tasikmalaya yang berkesulitan belajar dalam membaca. Nama dari subjek penelitian disamarkan menjadi Sabila, hal ini dilakukan untuk menjaga privasi dari siswa yang bersangkutan.
Menurut Sugiyono (2007: hlm. 298) dalam penelitian studi kasus tidak menggunakan populasi karena berangkat dari kasus yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak diberlakukan ke populasi, tetapi ditransferkan  pada situasi sosial yang memiliki kesamaan. Karena tidak menggunakan populasi, ini juga berarti studi kasus tidak menggunakan sampel. Karena sampel merupakan bagian dari populasi.
Sampel dalam penelitian studi kasus dinamakan narasumber, informan, partisipan, teman dan guru dalam penelitian. Pemilihan nara sumber ini dilakukan secara purposive. Artinya narasumber dipilih karena memang menjadi sumber dan kaya dengan informasi tentang kasus yang diteliti (Sukmadinata,2010 : hlm.101) . Narasumber yang dipilih dalam penelitian ini adalah Sabila, keluarga Sabila, guru kelas II, dan teman Sabila.
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun situasi sosial yang diamati. Dalam penelitian ini yang menggunakan desain penelitian kualitatif yang menjadi instrumen utama atau alat penelitian adalah peneliti sendiri (Sugiyono, 2007 : hlm. 305).
Meskipun peneliti adalah instrumen utama, namun setelah fokus penelitian jelas maka dapat dibuat instrumen lain yang dapat digunakan untuk melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan. Dalam penelitian ini, menggunakan instrumen berupa lembar observasi, pedoman wawancara, dan pedoman dokumentasi. Lembar observasi berisi aspek-aspek yang akan diamati dalam penelitian, pedoman wawancara berisi daftar pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan kepada narasumber, dan pedoman dokumentasi yang memuat garis-garis besar atau kategori yang akan dicari. Sebelum merancang instrumen penelitian yang digunakan, peneliti membuat kisi-kisi instrumen.
Proses Pengembangan Instrumen dalam penelitian ini meliputi uji kredibilitas dan uji transferability. Uji Kredibilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan triangulasi. Baik triangulasi sumber data maupun triangulasi teknik pengumpulan data. Triangulasi sumber data  berarti untuk mendapatkan data, peneliti memilih sumber data yang berbeda-beda dengan menggunakan teknik yang sama yaitu wawancara. Sedangkan triangulasi teknik, berarrti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama.
Uji Transferability ini berkaitan dengan dapat diterapkan atau digunakannya hasil penelitian dalam konteks dan situasi lain (Sugiyono, 2007 : hlm. 376).  Suatu penelitian dapat diberlakukan (transferability) apabila pembaca laporan penelitian memperoleh gambaran yang jelas terhadap penelitian tersebut sehingga ada kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian tersebut. Maka dari itu peneliti harus memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya mengenai hasil penelitian.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian studi kasus ini adalah observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Observasi yang dilakukan adalah observasi non partisipatif dan partisipatif. Observasi non partisipatif artinya peneliti tidak terlibat dalam kegiatan tapi hanya berperan sebagai pengamat. Dilakukan saat mengamati kegiatan Sabila di Sekolah. Sedangkan observasi partisipatif dilakukan saat mengamati kegiatan Sabila di Rumah. Agar data yang didapatkan lebih mendalam, peneliti juga melakukan wawancara dengan narasumber. Narasumber yang dipilih dalam penelitian ini adalah Sabila, guru kelas II, teman siswa (Fahira), dan keluarga Sabila (nenek Sabila). Dan untuk menguatkan data yang diperoleh, peneliti juga melakukan studi dokumentasi terhadap dokumen-dokumen yang berupa buku tulis, buku ulangan, dan buku rapor Sabila.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif dengan model interaktif yang dikemukakan oleh Miles and Huberman. Analisis interaktif terdiri dari tiga komponen, yakni: data reduction (reduksi data), data display (penyajian data), dan conclusion drawing/ verification (menarik kesimpulan atau verifikasi).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang didapat dari observasi, wawancara, dan studi dokumentasi mengenai faktor yang mempengaruhi kesulitan membaca yang dialami Sabila dan prestasi belajarnya diuraikan sebagai berikut :
Faktor Penyebab yang Mempengaruhi Kesulitan Membaca yang Dialami Sabila
Secara umum faktor penyebab kesulitan membaca yang dialami Sabiala dikategorikan ke dalam dua faktor, yakni faktor internal dn faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi kesulitan membaca yang berada dari dalam diri Sabila. Faktor internal ini meliputi faktor fisiologis dan faktor psikologis.
Faktor fisiologis yang menyebabkan kesulitan membaca yang dialami Sabila yaitu kesehatan fisik. Kesehatan fisik dapat mempengaruhi kesulitan membaca karena dengan kondisi fisik yang terganggu (sakit) menyebabkan kesempatan seseorang dalam belajar khususnya membaca menjadi terbatas. Hal ini pula yang dialami Sabila. Menurut penuturan nenek Sabila (Ibu Neni) dalam satu bulan Sabila bisa sakit sampai tiga kali. Saat Peneliti melakukan penelitian pun Sabila terserang sakit berupa flu, batuk dan gejala tifus. Dengan kondisi seperti itu, maka Sabila tidak dapat sekolah dan mengikuti les. Bila dipaksakan untuk sekolah pun, hasilnya tidak optimal. Justru  yang terjadi kondisi Sabila menjadi lebih buruk.
Faktor psikologis mencakup motivasi yang rendah, ingatan yang kurang dan konsentrasi atau perhatian kurang. Faktor motivasi sangat berpengaruh terhadap proses belajar. Dimyati dan Mudjiono (2006, hlm: 239) menyatakan bahwa motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong terjadinya proses belajar. Apabila seorang siswa motivasinya lemah bahkan tidak ada akan melemahkan kegiatan belajarnya. Seperti yang dialami Sabila selalu mendapatkan nilai yang rendah, suasana belajar yang tidak memacu semangat membuat motivasi belajarnya rendah.  lemah. tidak memacunya belajar lebih giat dalam belajar.
Faktor ingatan atau memori yang kurang, peneliti temukan saat membimbing Sabila belajar huruf yang belum diketahui pada waktu PLP. Saat peneliti meminta Sabila untuk menyebutkan huruf yang telah diajarkan, beberapa waktu ia bisa. Namun setelah cukup lama dan belajar huruf lain, ia tidak bisa dan mengatakan “hilap deui”. Padahal menurut Grainger (2003 : hlm.181) membaca melibatkan proses mengingat kata-kata, bunyi dan plot cerita. Namun faktor ingatan yang kurang ini bisa diatasi dengan cara latihan membaca yang kontinyu.
Faktor psikologis lain yang menjadi penyebab adalah konsentrasi. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006, hlm: 239) konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian saat pembelajaran. Dalam kasus Sabila ini, konsentrasinya saat pembelajaran tergolong kurang. Konsentrasi yang kurang peneliti temukan ketika observasi. Meskipun ia tergolong siswa yang pendiam, namun saat guru menjelaskan ia terlihat tidak memperhatikan dan lebih banyak memperhatikan orang lain. Salah satu sebab konsentrasi Sabila kurang saat belajar karena Sabila jarang istirahat untuk membeli makanan dan minuman. Padahal menurut Dimyati dan Mudjino (2006, hlm: 239) memperhitungkan waktu belajar serta selingan istirahat dapat meningkatkan konsentrasi. Apabila seorang siswa tidak diberi kesempatan untuk istirahat maka konsentrasinya akan menurun. Serupa dengan Dimyati dan Mudjiono,  Rooijakker (dalam Dimyati dan Mudjino, 2006, hlm: 239-240) mengungkapkan dalam pengajaran klasikal, kekuatan perhatian siswa selama tiga puluh menit akan menurun. Oleh karena itu, ia menyarankan untuk memberikan istirahat selingan selama beberapa menit.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor penyebab kesulitan belajar dalam membaca yang berasal dari luar individu yang mengalami kesulitan tersebut. Faktor eksternal ini meliputi lingkungan keluarga, sekolah, dan teman sebaya.
Faktor lingkungan keluarga ini mencakup latar belakang dan pengalaman Sabila di rumah serta keadaan ekonomi keluarga. Latar belakang keluarga Sabila adalah keluarga yang broken home. Ibu dan ayahnya telah berpisah. Sebelum menikah dengan ayahnya, ibunya pun pernah menikah. Dan sekarang ibunya menikah lagi. Saat ini Sabila tinggal dengan neneknya. Sebelumnya ketika Sabila kelas I, juga pernah tinggal dengan nenek tirinya di Taraju. Tapi menjelang kelas II sampai sekarang ia menetap di rumah neneknya. Sedangkan ibunya di Bandung bersama ayah tirinya, dan ayah kandungnya tinggal di Sambong. Hal ini pula menyebabkan kedekatan Sabila dengan ibunya kurang. Dengan kondisi seperti ini, akan mempengaruhi perkembangan khususnya dalam kemampuan membacanya karena untuk anak seusianya hal itu dikategorikan sebagai pengalaman yang traumatis. Pengalaman Sabila di rumah juga menjadi salah satu faktor penyebab kesulitan membaca yang dialaminya. Waktu seorang anak bersama keluarga yang cukup lama dibanding dengan di Sekolah seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membantunya dalam  mengembangkan seluruh potensi dan kemampuannya. Salah satunya adalah kemampuan dalam hal membaca. Namun berdasarkan hasil observasi dan wawancara, Sabila menyebutkan bahwa tidak ada yang membantu atau membimbungnya dalam membaca. Memang hal ini bertentangan dengan yang diutarakan oleh neneknya yang menyebut semua anggota keluarga membantu Sabila.
Faktor keadaan ekonomi juga turut menjadi faktor penyebab. Tergolong keluarga yang kurang mampu, menyebabkan Sabila tidak bisa mengikuti Sekolah Taman Kanak-kanak (TK) seperti teman seusianya. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai huruf-huruf dan membaca permulaan baru ia dapatkan saat masuk Sekolah Dasar. Memang tidak ada keharusan bahwa seorang anak sebelum masuk SD sebelumnya harus Sekolah TK atau harus sudah bisa membaca. Namun dengan begitu kemampuan membacanya akan sangat terlihat terlambat bila dibandingkan dengan teman-temannya.
Faktor lingkungan sekolah meliputi metode mengajar dan media yang digunakan guru kurang bervariatif serta kurang berfungsinya peran guru dalam membimbing siswa yang mengalami kesulitan belajar. Terlihat saat peneliti melakukan observasi, guru ketika mengajar hanya menggunakan metode ceramah dan latihan. Hal ini dapat menyebabkan siswa menjadi bosan dan tidak bisa memfasilitasi gaya belajar siswa yang berbeda. Serta sering kali guru meminta siswa untuk menulis materi atau tugas dengan teknik didiktekan. Untuk Sabila yang mengalami kesulitan belajar khususnya membaca akan sangat memberatkan. Seharusnya guru menggunakan metode dan teknik yang bervariatif. Guru juga jarang menggunakan media belajar yang seharusnya digunakan untuk menjembatani siswa memahami materi. Hanya buku paket dan buku LKS saja yang guru gunakan sebagai sumber belajar. Fungsi guru sebagai pembimbing bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar pun kurang diperhatikan. Sabila jarang mendapatkan bimbingan terkait kesulitan belajar yang dialaminya. Padahal membimbing merupakan salah satu dari empat tugas pokok guru.
Teman sebaya pun sedikitnya menjadi penyebab kesulitan membaca yang dialami Sabila. Di Sekolah, ketika Sabila belum selesai menulis beberapa teman sering mengejeknya. Bila kejadian ini sering dilakukan, bisa mengakibatkan rasa percaya diri, semangat belajar Sabila menjadi turun dan ia akan merasa rendah diri.

Prestasi Belajar
Setelah melakukan studi dokumentasi pada buku rapor Sabila menunjukkan bahwa prestasi belajar Sabila kurang memuaskan dan mayoritas nilainya dibawah KKM. Dari 11 mata pelajaran yang diajarkan di Sekolah hanya ada empat mata pelajaran yang memenuhi KKM yaitu mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Olahraga (PJOK) dan Bahasa Inggris. Sedangkan tujuh pelajaran lainnya seperti Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Budaya dan keterampilan, Pendidikan Lingkungan Hidup, dan Bahasa Sunda masih dibawah atau belum memenuhi KKM.
Apabila dianalisis, prestasi belajar Sabila yang kurang dari KKM ini dikarenakan Sabila tidak dapat mengerjakan tes atau tugas-tugas dengan optimal. Sabila bisa menjawab dengan benar apabila tes atau tugas tersebut berupa tes lisan.
Tapi apabila tes tersebut berbentuk tes tertulis ia akan merasa kesulitan karena dengan tes tertulis ia dituntut untuk dapat membaca pertanyaannya. Kesulitannya sedikit tidak dipedulikan apabila tes berupa pilihan ganda. Karena dengan pilihan ganda, Sabila bisa bebas mencakra jawaban yang menurutnya benar meskipun sebelumnya ia tidak membaca pertanyaannya.
 Juga dengan tes yang berupa pilihan ganda ini, kemungkinan jawaban yang benar lebih besar bila dibandingkan apabila tes berbentuk uraian singkat. Berbeda apabila tes tersebut adalah uraian singkat. Sabila akan merasa kesulitan, bahkan tidak bisa mengisi karena dia dituntut untuk dapat membaca pertanyaan dan mengisi jawabannya sendiri.
Kesulitan membacanya akan semakin terlihat apabila tes yang diberikan oleh guru, pertanyaannya didiktekan. Maka selain ia kesulitan untuk menjawab pertanyaan, ia pun kesulitan dalam menulis pertanyaan dengan benar. Hal ini dikarenakan keterampilan membaca berhubungan erat dengan keterampilan menulis. Keterampilan menulis belum dapat dikuasai oleh siswa apabila siswa tersebut belum bisa membaca. Karena membaca merupakan prasayarat sebelum seseorang belajar menulis. Seperti aksioma yang diungkapkan Alexander (dalam Resmini, dkk, 2009 : hlm. 215) “nothing should be written before it has been read”.
Apabila kesulitan belajar yang dialami Sabila khususnya dalam membaca belum bisa diatasi dan Sabila tidak bisa memperbaiki nilai-nilainya pada saat semester ganjil maka besar kemungkinan Sabila tidak akan naik kelas. Karena apabila dinaikkan ke kelas III dikhawatirkan Sabila semakin tertinggal dibanding dengan teman-temannya.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian banyak faktor penyebab kesulitan belajar dalam membaca yang dialami Sabila. Faktor tersebut terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor kesehatan fisik Sabila yang sering sakit, motivasi kurang, daya ingat yang kurang, dan perhatian atau konsentrasi yang kurang terutama saat pembelajaran berlangsung. Sedangkan faktor eksternal mencakup faktor lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan teman sebaya.  Lingkungan keluarga Sabila yang broken home (ayah ibunya sudah bercerai, dan ibunya menikah lagi) dan keadaan ekonomi yang kurang sehingga ia ketika kecil tidak merasakan sekolah di TK seperti temannya yang lain memberikan pengaruh pada kesulitan membaca yang dialaminya. Lingkungan sekolah berupa metode mengajar dan media yang digunakan guru kurang bervariatif serta kurang berfungsinya peran guru dalam membimbing siswa yang mengalami kesulitan belajar menjadi salah satu faktor penyebabnya. Dan teman sebaya yang suka mengejek Sabila turut menjadi faktor penyebab kesulitan membacanya.
Dengan kesulitan membaca yang dialami Sabila tersebut, menyebabkan nilai prestasi belajar saat kelas II semester ganjil yang ditunjukkan dalam buku rapor banyak yang dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Nilai yang dibawah KKM ini disebabkan karena saat tes atau ulangan yang sebagian besar berbentuk tes tertulis tidak dapat dikerjakan oleh Sabila dengan optimal. Tes berupa pilihan ganda diisi oleh Sabila hanya dengan cara mencakra sesuka hatinya tanpa membaca terlebih dahulu pertanyaannya. Apalagi saat mengisi ulangan berupa uraian singkat, ia hanya menuliskan rangkaian huruf-huruf yang tidak dapat dibaca. Apabila kesulitan membacanya belum teratasi, dan hasil belajarnya pada semester genap nanti masih banyak yang dibawah KKM Sabila bisa tidak naik kelas. Karena apabila naik kelas pun ia akan kesulitan mengejar teman-temannya dan akhirnya tertinggal.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: suatu pendekatan praktik. Yogyakarta : Penerbit Rineka Cipta
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
Grainger, Jessica. 2003. Children’s Behavior, Attention and Reading Problems. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Rahim, Farida. 2005. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta : Bumi Aksara.
Resmini,Novi dan Dadan Juanda. 2007. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Bandung UPI PRESS
Resmini, Novi dkk. 2009. Pembinaan dan Pengembangan Pembelajaran Bahsa dan Sastra Indonesia. Bandung : UPI PRESS
Setiawati dan Ima Ni’mah Chudari. 2007. Bimbingan dan Konseling. Bandung: UPI PRESS
Sugiyoono. 2007. Metode Penlitian Pendidikan:Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta
Sukmadinata,Nana Syaodih. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : PT.Remaja Rosdakarya
Yusuf, Syamsu dan Nani M.Sugandhi. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada.

CONTOH ANALISIS GAYA BELAJAR SISWA YANG MENYONTEK SAAT ULANGAN



ANALISIS GAYA BELAJAR
SISWA YANG MENYONTEK SAAT ULANGAN
NAMA PENYUSUN
Program Studi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Tasikmalaya

Abstrak
Penelitian ini mendeskripsikan kesesuaian gaya belajar siswa dengan aktivitas mereka belajar sehari-hari, dimana gaya belajarnya sendiri difokuskan antara tiga gaya belajar Visual, Auditorial, atau Kinestetik. Gaya belajar yang cocok dan pas akan memudahkan memahami dan menyerap pelajaran. Dan diketahui saat ulangan ada siswa menyontek disebabkan oleh kesulitannya dalam mengerjakan soal ulangan. Hal ini menunjukkan bahwa siswa belum memahami dan menyerap pelajaran dengan baik. Maka pada penelitian ini terfokus untuk menganalisis gaya belajar siswa yang teridentifikasi pernah menyontek saat ulangan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kesesuaian aktivitas belajar dengan kecenderungan gaya belajar siswa dalam menyerap pelajaran guna memberikan solusi kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gayanya agar memudahkannya dalam menyerap pelajaran dan mendapatkan solusi dalam upaya menghadapi keragaman gaya belajar siswa di kelas guna mengurangi perilaku menyontek siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Studi kasus adalah sebuah metode penelitian yang digunakan untuk menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata. Pengumpulan data  dilakukan dengan observasi, angket, dan wawancara untuk tiga indikator data yang dikumpulkan. Karena dalam studi kasus hendaknya mendapatkan bukti dari dua atau lebih sumber, namun menyatu dengan serangkaian fakta atau temuan yang sama, sehingga tidak terbatas pada sebuah sumber bukti tunggal. Hasil penelitiannya adalah beberapa siswa masih belum melakukan aktivitas belajar yang sesuai dengan gaya belajarnya, walaupun ada yang sudah sesuai itupun belum optimal, ada beberapa karakteristik gaya belajarnya yang tidak sesuai dengan aktivitas belajar yang dilakukannya. Maka upaya yang harus dilakukan guru adalah menjadi guru yang kreatif dalam mengajar dengan selalu memperhatikan karakteristik gaya belajar setiap siswa di kelas. Sehingga hal yang dapat memudahkan guru dalam mengetahui karakteristik siswa adalah melakukan tes gaya belajar siswa pada awal tahun ajaran agar dapat mendorong siswa untuk lebih mudah memahami pelajaran dan memahami setiap perilaku siswa yang muncul saat belajar di kelas.
Kata kunci: Studi Kasus, Menyontek, Gaya Belajar.
Key words: Case study, cheating, style of learning.

Pendidikan tidak bertujuan untuk menciptakan suatu yang otomatis yang dapat digerakkan sesuai dengan yang memutarnya atau menyetelnya. Pendidikan diarahkan kepada terbinanya manusia yang melaksanakan tugas hidupnya secara mandiri, yang dalam pengambilan keputusannya dapat mempertimbangkan dan melaksanakannya sendiri.
Setiap orang memiliki gaya belajar yang berbeda-beda dan hal itu pulalah terlihat sebagai pelancar sekaligus penghambat  proses penyerapan ilmu yang diajarkan. Sehingga guru dituntut untuk mengajar sesuai dengan karakteristik siswa yang dihadapinya, agar memudahkan siswa untuk menyerap pelajaran yang disampaikan guru.
Bobbi DePorter (2010) mengungkapkan bahwa gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di sekolah, dan dalam situasi-situasi antar pribadi. Ketika telah menyadari bagaimana diri pribadi dan orang lain menyerap dan mengolah informasi, setiap orang dapat menjadikan belajar dan berkomunikasi lebih mudah dengan gayanya sendiri.
Gaya belajar yang cocok dan pas tentu akan memudahkan memahami dan menyerap pelajaran. Dan tentu ketika dihadapkan pada sebuah ulangan, mereka akan mudah mengerjakan soal-soal tersebut dengan pemahaman yang telah diserapnya saat belajar tanpa harus bertanya lagi pada temannya, meminta jawaban saat ulangan atau menyontek sekalipun.
Maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan kesesuaian kebiasaan belajar dengan kecenderungan gaya belajar siswa dalam menyerap pelajaran. Juga mendapatkan solusi dalam upaya guru menghadapi gaya belajar setiap siswa guna mengatasi perilaku menyontek saat ulangan.
Stephen Davis (2009) mengatakan “Cheating can be defined as deceiving or depriving by trickery, defrauding, misleading or fooling another.”
Kita membentuk perspektif tentang menyontek bukan hanya kecurangannya saja tetapi juga belajarnya itu sendiri. Kita sering belajar lebih banyak dari kesalahan kita daripada ketika semuanya berjalan dengan sempurna. Mereka yang bertanggung jawab untuk belajar, termasuk masing-masing dari kita, mengetahui banyak hambatan untuk belajar. Mengajar adalah tentang bagaimana menghapus hambatan untuk belajar dan memperkuat keingintahuan mendasar tentang bagaimana dunia bekerja. Kita sering tidak mengalami sukses karena berbagai cara pembelajaran terjadi, ketidakrataan dalam kecepatan belajar, atau kesalahpahaman tentang bagaimana belajar bisa terjadi. Siswa menyontek bukan hanya hambatan untuk belajar, tentu saja, tapi cara-cara canggih dalam menghadapi hal itu juga dapat menghambat belajar.
Belajar akan terasa nyaman dan menyenangkan jika kondisi-baik fisik, psikis, maupun lingkungan juga mendukung. Hal ini berhubungan dengan gaya belajar setiap orang. Setiap orang dengan gaya belajarnya masing-masing memiliki kenyamanan situasi belajar yang berbeda-beda. Karena pada setiap gaya belajar terdapat karakteristiknya tersendiri.
Kemampuan seseorang untuk memahami pelajaran berbeda-beda tingkatnya. Ada yang cepat, sedang, dan lambat. Oleh karena itu, mereka seringkali harus menempuh cara berbeda untuk bisa memahami sebuah informasi atau pelajaran yang sama. Cara tersebut dinamakan dengan gaya belajar. Setiap individu memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Namun, hal yang penting untuk dimengerti bahwa tidak ada gaya belajar yang paling baik atau paling buruk, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Hamzah Uno (2009) mengungkapkan bahwa apapun cara belajar yang dipilih, perbedaan gaya belajar itu menunjukkan cara tercepat dan terbaik bagi setiap individu untuk bisa menyerap sebuah informasi dari luar dirinya.
DePorter, mendefinisikan gaya belajar sebagai bentuk kombinasi dari menyerap, mengatur, dan mengolah informasi. Dalam prosesnya, murid, tidaklah selalu sama dalam gaya belajarnya. Disini, gaya belajar dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu, Visual (Visual Learners), Auditorial (Auditory Learners) dan Kinestetik (Kinesthetic Learners).
1.      Visual
Anak yang memiliki gaya belajar ini mendapatkan informasi dengan cara memiliki kontak mata dengan apa yang dipelajari. Maka ia akan sangat perlu untuk memperhatikan pelajaran di kelas, atau membaca buku. Cara ini ternyata membuat guru merasa senang karena melihat murid memperhatikan pelajarannya. Ia jadi mudah diatur karena pas dengan kecenderungannya.
2.      Auditorial
Tipe pembelajar seperti ini tidak memerlukan kontak mata, tapi cukup mengoptimalkan pendengarannya. Ia jadi terkesan tidak memperhatikan pembicaraan, walalupun sebenarnya ia dengar. Anak seperti ini biasanya belajar lewat suara keras, atau listening.
3.      Kinestetik
Tipe pembelajar seperti ini cenderung aktif. Ia harus bereksplorasi dan mengoptimalkan fisiknya. Sehingga ia tidak betah jika disuruh duduk berlama-lama di kelas atau hanya mendengarkan ceramah saja. Ia perlu menyentuh, bergerak, dan melakukan atau praktek. Jika bicara biasanya ia agak perlahan dan jika membaca, ia biasanya memakai jari sebagai petunjuk.
Karena guru adalah manusia pembelajar, yang mempunyai keikhlasan dalam mengajar dan belajar, dan senantiasa berintrospeksi apabila ada siswa yang tidak memahami pelajaran. Maka setiap guru harus berupaya untuk mengajar dengan strategi pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar siswa. Sehingga siswa akan dengan mudah menyerap pelajaran di kelas, memahami, dan mengingatnya dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, jika mengajar yang kita pahami adalah sebagai proses membantu siswa belajar, maka kita berusaha membantu mereka memahami “Style of Learning”nya, dengan meningkatkan segi-segi yang kuat dan memperbaiki sisi-sisi lemah daripadanya.

A.    METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode studi kasus. Metode studi kasus adalah sebuah metode penelitian yang digunakan untuk menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata. Sebagaimana dijelaskan Yin (2008) bahwa studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan dimana multi sumber bukti dimanfaatkan. Lebih lanjut Arikunto mengemukakan bahwa metode studi kasus sebagai salah satu jenis pendekatan deskriptif, adalah penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci, dan mendalam terhadap suatu organisme (individu), lembaga atau gejala tertentu dengan daerah atau subjek yang sempit.
Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia.
Dalam studi kasus terdapat empat tipe desain. Desain penelitian merupakan kaitan logis antara data empiris dengan pertanyaan penelitian dan terutama konklusi-konklusinya. (Yin, 2003:27)
Sederhananya, desain penelitian adalah rencana tindakan untuk berangkat dari “sini” menuju ke “sana”, dimana “disini” bisa diartikan sebagai rangkaian pertanyaan awal yang harus dijawab, dan “disana” merupakan serangkaian konklusi (jawaban) tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Syaodih (2012) mengungkapkan penelitian kualitatif menggunakan desain penelitian studi kasus dimana penelitian ini difokuskan pada satu fenomena saja yang dipilih dan ingin dipahami secara mendalam.
Penelitian ini menggunakan desain tipe 2, yaitu desain kasus tunggal terjalin. Dimana perhatian diberikan kepada satu atau beberapa sub unit analisis.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi, angket, dan pedoman wawancara. Pada awalnya dimana permasalahan belum jelas dan pasti, maka yang menjadi instrumen adalah peneliti sendiri. Namun setelah masalah yang akan dipelajari jelas, maka dapat dikembangkan suatu instrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan.
Teknik pengumpulan datanya adalah dengan observasi, angket, dan wawancara. Yin (2010) mengungkapkan terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan data studi kasus, salah satu diantaranya yaitu penggunaan berbagai sumber bukti. Bahwa dalam pengumpulan data studi kasus hendaknya mendapatkan bukti dari dua atau lebih sumber, namun menyatu dengan serangkaian fakta atau temuan yang sama, sehingga tidak terbatas dan memang tidak harus terbatas pada sebuah sumber bukti tunggal.

B.     HASIL DAN PEMBAHASAN
1.      Jenis Perilaku Menyontek Siswa saat Ulangan
Ketika siswa dihadapkan pada ulangan di satu hari, tidak terlihat ekspresi tegang di wajah siswa. Begitupun ketika guru mulai meletakan soal ulangan di meja masing-masing siswa. Keadaan kelas pun tenang, tidak ramai seperti ketika kegiatan pembelajaran. Siswa mulai meraih kertas ulangan yang telah dibagikan guru sesaat setelah instruksi “Silahkan mulai kerjakan ulangannya!” terucap dari guru.
Dengan serius siswa menjawab setiap soal yang diberikan. Mulai terlihat ada siswa yang melirik kertas jawaban teman di sebelahnya pada menit ke 10. Bertambah ada siswa yang bertanya dan mencari jawaban dari teman di belakangnya. Ada pula siswa yang menutup rapat-rapat kertas jawabannya agar tidak terlihat oleh temannya. Ada pula yang menyamakan jawabannya dengan jawaban milik temannya.
Dari hasil observasi berdasarkan beberapa indikator didapatlah beberapa siswa yang menyontek saat ulangan pada saat itu, antara lain:
Tabel 1
Data Primer Perilaku Menyontek Saat Ulangan
No
Indikator
Jumlah
Keterangan
1
Memberitahu  jawaban pada teman yang lain
2
Siswa 2, siswa 19
2
Meminta jawaban pada teman yang lain
5
Siswa 1, siswa 5, siswa 27, siswa 29, siswa 32
3
Melihat jawaban teman secara diam-diam
1
Siswa 7
4
Membuka buku catatan
-           
-           
5
Pola jawaban yang sama pada ulangan siswa
8
Siswa 1 & siswa 2
Siswa 4 & siswa 12
Siswa 19 & siswa 27

Tabel 2
Kategori Perilaku Menyontek
No
Kategori Perilaku Menyontek
Jumlah
Ket
1
Siswa yang meminta jawaban kepada teman saat ulangan
9
Siswa 9, siswa 10, siswa 11, siswa 18, siswa 19, siswa 25, siswa 26, siswa 27, siswa 28
2
Siswa yang melihat jawaban milik teman ketika guru lengah saat ulangan
1
siswa 7
3
Siswa yang berusaha melihat buku paket atau catatan saat ulangan
1
Siswa 24
4
Siswa yang meminta jawaban kepada teman dan melihat jawaban milik teman ketika guru lengah
3
Siswa 23, Siswa 32, Siswa 33
5
Siswa yang melihat jawaban milik teman ketika guru lengah dan berusaha melihat buku paket atau catatan
2
Siswa 1, Siswa 29
6
Siswa yang meminta jawaban kepada teman dan berusaha melihat buku paket atau catatan
1
Siswa 22
7
Siswa yang meminta jawaban kepada teman, melihat jawaban milik teman ketika guru lengah, dan berusaha melihat buku paket atau catatan
1
Siswa 15
8
Siswa yang tidak menyontek
11
Siswa 3, Siswa 5, Siswa 8, Siswa 12, Siswa 13, Siswa 14, Siswa 16, Siswa 17, Siswa 20, Siswa 21, Siswa 31

2.      Kecenderungan dan Kesesuaian Gaya Belajar Siswa yang Menyontek
Susilo (2009) menyatakan bahwa gaya belajar adalah cara yang cenderung dipilih seseorang untuk menerima informasi dari lingkungan dan memproses informasi tersebut.
Siswa kelas IV SDN Cieunteung 2 telah diidentifikasi ke dalam 3 gaya belajar, yakni Visual, Auditorial, dan Kinestetik. Dan setiap anak memiliki karakteristik gaya belajarnya tersendiri, baik di sekolah maupun di rumah.
Dari 33 siswa, terdapat 22 siswa yang dinyatakan menyontek saat ulangan berdasarkan observasi saat ulangan dan angket yang diisi oleh setiap siswa, berikut hasil datanya.

Tabel 3
Gaya Belajar Siswa yang Menyontek
No
Subjek Penelitian
Gaya belajar
Aktivitas keseharian
1
Siswa 1
visual
visual
2
Siswa 2
visual
kinestetik
visual
3
Siswa 4
visual
Auditorial
Kinestetik
4
Siswa 5
visual
Visual
5
Siswa 7
visual
Visual
6
Siswa 9
visual
Visual
7
Siswa 10
visual
Kinestetik
Visual
8
Siswa 11
visual
Kinestetik
Visual
9
Siswa 12
visual
Visual
10
Siswa 15
visual
auditorial
11
Siswa 18
visual
visual
12
Siswa 19
visual
kinestetik
13
Siswa 22
visual
visual
14
Siswa 23
kinestetik
Kinestetik
Auditorial
15
Siswa 24
visual
Auditorial
Kinestetik
16
Siswa 25
visual
Visual
Kinestetik
17
Siswa 26
visual
kinestetik
Visual
18
Siswa 27
visual
kinestetik
Visual
Auditorial
19
Siswa 28
visual
Visual
20
Siswa 29
Visual
Kinestetik
Visual
21
Siswa 32
visual
Auditorial
22
Siswa 33
seimbang
Visual

Terdapat 21 dari 22 orang siswa yang memiliki gaya belajar visual, sedangkan satu orang lagi memiliki gaya belajar kinestetik. Pada umumnya pembelajar visual lebih mudah memahami pelajaran dari tulisan yang dibuatnya. Walaupun belum semua siswa ini menyadari dengan sendirinya bahwa catatan yang dibuatnya dapat dijadikan sebagai sumber belajar, mengulang kembali pelajaran di kelas, ataupun dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi ulangan. Siswa dapat diarahkan untuk merapikan catatan yang dibuatnya, memberikan visualisasi dengan gambar atau berupa tanda pada setiap kata atau kalimat yang penting dengan warna-warna yang menarik, sehingga siswa lebih mudah menyerap materi pelajaran yang ditulis di catatannya. Selain itu hendaknya diperhatikan pula karakteristik yang lainnya, bahwa satu siswa yang memiliki gaya visual tidak sepenuhnya berkarakter visual tetapi tetap saja ada karakteristik gaya yang lainnya juga dan hal ini bisa disesuaikan dengan gaya visualnya.
Begitupun dengan pembelajar kinestetik, siswa ini tidak bisa belajar dengan terus menerus duduk diam di kursinya dengan memperhatikan guru menjelaskan di depan kelas, sesekali harus diberi kesempatan untuk bergerak, mempraktekkan setiap penjelasan yang disampaikan guru, sehingga siswa ini tidak cepat jenuh ketika pembelajaran berlangsung.
Ketika kita belum mengetahui gaya belajar yang pas untuk siswa, guru bisa menggunakan metode gabungan antara visual, auditori, dan kinestetik. Misalnya dengan cara siswa disuruh menghadap ke papan tulis sambil memegang spidol. Guru bisa menuliskan huruf atau angak di punggung siswa, sambil mendeskripsikan dengan ucapan. Kemudian siswa diminta mengikuti dengan menulis di papan tulis. Ini gabungan antara siswa mersakan, mendengar, dan melakukan.
Best (2011) mengungkapkan beberapa aktivitas pembelajaran yang cocok untuk setiap gaya belajar, antara lain:
a.       Pembelajar Auditorial
1)      Mendengarkan presentasi atau penjelasan.
2)      Membaca keras-keras untuk dirinya sendiri.
3)      Membuat rekaman tentang poin-poin penting untuk didengarkan.
4)      Merangkum secara lisan dalam bahsa mereka sendiri.
5)      Menjelaskan subjek penalaran kepada siswa lainnya.
6)      Menggunakan suara hati untuk menyuarakan apa yang sedang mereka pelajari.
7)      Mempraktikan mengeja dengan mengucapkan sebuah kata dengan benar sebelum mencoba untuk menuliskannya.
b.      Pembelajar Kinestetis
1)      Meniru sebuah peragaan.
2)      Membuat model.
3)      Merekam informasi yang mereka dengar, lebih bagusnya dengan cara pemetaan pikiran.
4)      Berjalan-jalan saat membaca.
5)      Menggarisbawahi / memberi tanda pada informasi baru/poin-poin penting.
6)      Terlibat secara fisik dan aktif dalam pembelajaran.
7)      Mempraktikan mengeja dengan menulis di udara atau di atas meja dengan jari, bersamaan dengan itu secara simultan mengucapkan ejaan tersebut keras-keras.
c.       Pembelajar Visual
1)      Menuliskan fakta-fakta kunci atau membuat pemetaan pikiran.
2)      Memvisualisasikan apa yang telah mereka pelajari.
3)      Membuat gambar/diagram dari apa yang telah mereka pelajari.
4)      Menggunakan garis waktu untuk mengingat tanggal-tanggal.
5)      Menciptakan sendiri tautan-tautan visual yang kuat.
6)      Menggunakan gambar, diagram, tabel, film, video, atau grafis.
7)      Mempraktikan mengeja dengan melihat katanya terlebih dahulu sebelum menuliskannya atau mengucapkannya.
Diharapkan siswa bisa lebih mudah dalam menyerap pelajaran dengan cara belajar yang sesuai dengan gaya belajarnya masing-masing, sehingga memudahkannya dalam mengerjakan ulangan tanpa menyontek.
3.      Upaya Guru Menghadapi Gaya Belajar Siswa
Di tengah siswa yang terpaksa menyontek saat ulangan masih banyak siswa lain yang berusaha menutup rapat kertas ulangannya sendiri agar tidak dilihat oleh temannya.
Siswa yang terlihat lambat dalam belajar, siswa yang sering membuat masalah di kelas, siswa yang tidak pernah memperhatikan guru ketika mengajar, adalah siswa yang lebih sering terlihat menyontek.
Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara termudah bagi seseorang dalam menyerap sebuah informasi. Bila tidak sesuai, maka tidak mudah bagi seseorang untuk menyerap informasi dengan cepat.
Menurut Shaun Kerry (2002) dalam Spreenger, bertahannya peristiwa ataupun informasi tertentu dalam ingatan tergantung dari minat individu terhadap materi dan pengaruh dramatis emosional, pendengaran, dan visualnya.
Langer (2008) pun mengungkapkan ketika orang tidak senang melakukan sesuatu, maka penting untuk kita mengetahui alasannya.
Maka dalam hal ini guru pun memegang peranan yang sangat penting bagaimana agar semua siswa bisa menyerap pelajaran dengan mudah sesuai gayanya sendiri, dan memberikan perhatian lebih pada siswa dengan mencari tahu apabila terdeteksi ada permasalahan pada diri siswa.
Mike Hughes dalam Barwood (2011) mengungkapkan, semua pembelajaran tanpa mempelajari kembali seperti halnya mencoba memenuhi bak kamar mandi yang sumbatnya terlepas. Hal ini berarti setiap informasi yang masuk secara otomatis akan keluar lagi dengan sendiri karena tak ada penyumbat lubang yang menahannya keluar lagi dengan cepat. Penyumbat lubang itu diibaratkan sebagai memori.
Setiap hari guru memberikan nasehatnya untuk selalu mengulang kembali pelajaran yang telah dipelajari di kelas setiap harinya.
Narwanti (2011) dalam bukunya Creative Learning memberikan gambaran mengenai ciri-ciri guru kreatif yaitu,
a.       Fleksibel
b.      Optimis
c.       Respect
d.      Cekatan
e.       Humoris
f.       Inspiratif
g.      Lembut
h.      Disiplin
i.        Responsif
j.        Empatik
k.      Ngefriend dengan siswa
Menjadi guru itu bukanlah pekerjaan yang mudah, guru dituntut untuk kreatif dalam mengajar, tidak mengajar dengan satu metode saja hingga siswa merasa bosan. Bahkan siswa yang cara belajarnya sudah sesuai dengan gaya belajarnya pun akan merasa frustasi di kelas karena cara mengajar guru yang tidak sesuai dengan dirinya. Akibatnya siswa memutuskan tidak menyerap pelajaran di kelas. Di luar pun ketika siswa belajar dengan caranya, akan tidak optimal bila di kelas dia tidak mendapatkan apa-apa

C.     SIMPULAN
Siswa yang menyontek memiliki gaya belajar yang hampir seragam, yaitu visual. Maka hal ini lebih memudahkan guru untuk memberikan pendekatan dalam mengajar kepada siswa-siswa ini. Membuat catatan yang menarik berisi gambar dan warna-warna untuk setiap kalimat yang penting menjadi salah satu cara yang bisa diterapkan kepada siswa ini, dengan memperhatikan pula karakteristik yang lainnya pada setiap individu ini.
Setiap siswa menginginkan untuk berprestasi dengan selalu mendapatkan nilai yang baik. Hal ini terkadang menjadi tujuan utama seseorang dalam dunia pendidikan. Nilai memang penting, terutama karena mendukung untuk mendapatkan pekerjaan kelas misalnya serta meraih pendidikan lanjutan. Tetapi pendidikan lebih sekedar mendapatkan nilai tinggi. Nilai akademik bukanlah satu-satunya hal yang bisa mendatangkan keberhasilan pada siswa di masa depan. Itu sebabnya lakukanlah cara terbaik dalam mengajar dan mengarahkan siswa untuk belajar sesuai dengan gayanya masing-masing. Siswa yang rileks, bahagia dan menyenangkan saat bersekolah akan membuat guru dan orang tua bangga, senang, dan tenang.

D.    DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Barwood, T. (2011). Strategi Belajar. Jakarta: Erlangga
Best, B. (2011). Strategi Percepatan Belajar. Jakarta: Erlangga
Davis, S., Patrick, D., & Betram, C. (2009). Cheating In School: What We Know and What DePorter, B. & Hernacki, M. (2010). Quantum Learning. Bandung: Mizan Pustaka
Langer, E. J. (2008). Mindful Learning: Membongkar 7 Mitos Pembelajaran yang Menyesatkan. Jakarta: Esensi Erlangga Group
Narwanti, S. (2011). Creative Learning: Kiat Menjadi Guru Kreatif Dan Favorit. Yogyakarta: Familia
Sprenger, M. (2011). Cara Mengajar Agar Siswa Tetap Ingat. Jakarta: Erlangga
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Syaodih-Sukmadinata, N. (2012). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda Karya
Uno, H. B. (2006). Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Yin, R. K. (2008). Studi Kasus Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Yunsirno. (2010). Keajaiban Belajar. Pontianak: Pustaka Jenius