CONTOH SKRIPSI PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG BELALANG (Locusta migratoria) DALAM RANSUM TERHADAP PERSENTASE KARKAS DAN LEMAK ABDOMINAL AYAM KAMPUNG BAB II


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Kampung
Ayam kampung adalah ayam lokal Indonesia yang berasal dari ayam hutan merah yang telah berhasil dijinakkan. Akibat dari proses evolusi dan domestikasi, maka terciptalah ayam kampung yang telah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga lebih tahan terhadap penyakit dan cuaca dibandingkan dengan ayam ras (Sarwono, 1991). Ayam kampung mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan dan perubahan iklim serta cuaca setempat. Ayam kampung memiliki bentuk badan yang kompak dan susunan otot yang baik. Bentuk jari kaki tidak begitu panjang, tetapi kuat dan ramping, kukunya tajam dan sangat kuat mengais tanah. Ayam kampung penyebarannya secara merata dari dataran rendah sampai dataran tinggi.
Penyebaran ayam kampung hampir merata di seluruh pelosok tanah air. Salah satu ciri ayam kampung adalah sifat genetiknya yang tidak seragam. Warna bulu, ukuran tubuh dan kemampuan produksinya tidak sama merupakan cermin dari keragaman genetiknya. Disamping itu badan ayam kampung kecil, mirip dengan badan ayam ras petelur tipe ringan (Rasyaf, 1998). Ayam buras yang dipelihara secara tradisional di pedesaan mencapai dewasa kelamin pada umur 6 sampai 7 bulan dengan bobot badan 1.4 sampai 1.6 kg (Supraptini, 1985 ). Ayam buras sebagai ayam potong biasanya dipotong pada umur 4 sampai 6 bulan. Margawati (1989) melaporkan bahwa berat badan ayam kampung umur 8 minggu yang dipelihara secara tradisional dan intensif, pada umur yang sama mencapai 1.435,5 g.
Pakan Ayam Kampung
Pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan, dicerna sebagian ataupun seluruhnya, serta bermanfaat untuk ternak itu sendiri Tillman et al. (1998).
Sampai saat ini standar gizi ransum ayam kampung yang dipakai di Indonesia didasarkan rekomendasi Scott et al. (1982) dan NRC (1994). Menurut Scott et al. (1982) kebutuhan energi termetabolis ayam tipe ringan umur 2-8 minggu antara 2600-3100 kcal/kg dan protein pakan antara 18%-21,4% sedangkan menurut NRC (1994) kebutuhan energi termetabolis dan protein masing-masing 2900 kcal/kg dan 18%. Standar tersebut sebenarnya adalah untuk ayam ras, sedangkan standar kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung yang dipelihara di daerah tropis belum ada.
Tillman et al., (1998) menyatakan bahwa tubuh ternak dibangun dari zat zat makanan yang diperoleh dari ransum yang dikonsumsi. Komposisi tubuh ternak dipengaruhi oleh umur, jenis ternak dan makanan yang dimakan. Protein merupakan salah satu nutrien yang perlu diperhatikan baik dalam menyusun ransum maupun dalam penilaian kualitas suatu bahan. Protein dibutuhkan oleh ayam yang sedang tumbuh untuk hidup pokok,  pertumbuhan bulu dan pertumbuhan jaringan              (Scott et al., 1982). Wahyu (1992) menyatakan bahwa karkas ayam biasanya mengandung protein 18 % dalam jaringan tubuhnya dan protein bulu 82 %. Untuk memenuhi kebutuhan protein sesempurna mungkin, maka asam asam amino essensial harus disediakan dalam jumlah yang tepat dalam ransum (Anggorodi, 1985).
Menurut Sinurat (1991), kebutuhan nutrien ayam kampung dibagi menjadi tiga fase yaitu, fase starter I, fase starter II dan fase grower. Pada fase starter I (0 sampai 12 minggu) kebutuhan ME 2600 kcal, PK 15 sampai 17%, Ca 0,9% dan P 0,45%. Pada fase starter II (12 sampai 22 minggu) kebutuhan ME sebesar 2400 kcal, PK  14%, Ca 1,0% dan P sebesar 0,40%. Pada fase grower  (lebih dari 22 minggu) kebutuhan ME 2400 sampai 2600 kcal, PK 14%, Ca 3,4% dan P 0,34%. Menurut NRC  (1994) untuk ayam pedaging dibutuhkan protein 23% pada umur 0 – 3 minggu, protein 20% pada umur 6 -8 minggu dengan 3200 kkal/kg energi metabolis.
Belalang
Menurut Hindayana (2003), klasifikasi belalang adalah sebagai berikut:
Kingdom                    : Animalia
Filum                          : Arthropoda
Kelas                          : Insekta
Ordo                           : Orthoptera
Subordo                     : Caelifera
Familia                       : Acrididae
Subfamilia                 : Oedipodinae
Triber                        : Locustini
Genus                       : Locusta
Spesies                    : migratoria
Common name        : Grasshopper
Nama ilmiah             : Locusta migratoria (Linnaeus, 1758)
Sinonim         : Locusta dancia L.; Pachytylus migratorius; P. danicus;  Acridiumigratorium.
Serangga mempunyai kandungan gizi yang baik terutama protein dan lemak (Hindayana, 2003). Selanjutnya menurut Koswara (2002) sebagian besar serangga kaya akan protein, yakni sekitar 40 sampai 60% dan lemak 10 sampai 15%. Belalang kalau diolah menjadi tepung mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi. Protein kasarnya mencapai 76%. Sedikit kelemahan pada tepung belalang adalah komposisi protein kasarnya mengandung nitrogen dalam bentuk senyawa khitin, terdapat pada bagian exoskeleton dan sulit dicerna oleh ayam (Nasroedin, 1998). Selanjutnya dijelaskan bahwa khitin mengandung N- acetylated-glucosamine polysacharide yang mengandung 7% nitrogen atau ekivalen dengan 43,7% PK (± 55% dari total protein kasar). Khitin ini menyebabkan nilai cerna PK tepung belalang pada ayam hanya mencai 69%. Kandungan PK belalang sedikit di bawah tepung ikan (Nasroedin, 1998).

Belalang (Locusta migratoria)
Seekor betina mampu menghasilkan telur sekitar 270 butir. Telur ini berwarna keputih-putihan dan berbentuk buah pisang, tersusun rapi dalam tanah pada kedalaman sekitar 10 cm. Menurut BPOPT (2000) telur-telur tersebut akan menetas setelah 17 hari, sementara menurut Farrow (1990), telur-telur tersebut menetas dari 10 sampai 50 hari bergantung temperatur.
Siklus hidup rata-rata 76 hari sehingga dalam setahun dapat menghasilkan empat sampai lima generasi di daerah tropis utamanya Asia Tenggara, sementara di daerah Subtropis serangga ini hanya menghasilkan satu generasi per tahun.
Dalam kehidupan dan perkembangan koloni belalang kembara dikenal mengalami tiga fase pertumbuhan populasi yaitu fase soliter, fase transien, dan fase gregaria. Pada fase “soliter”, belalang hidup sendiri-sendiri dan tidak menimbulkan kerugian atau kerusakan tanaman. Pada fase “gregaria”, belalang kembara hidup bergerombol dalam kelompok-kelompok besar, berpindah-pindah tempat dan menimbulkan kerusakan tanaman secara besar-besaran pula. Perubahan fase dari soliter ke gregaria dan sebaliknya dari gregaria kembali ke soliter dipengaruhi oleh kondisi iklim, melalui fase yang disebut transien.
Perubahan fase soliter ke fase gregaria biasanya dimulai pada awal musim hujan setelah melewati musim kemarau yang cukup kering (dibawah normal). Pada kondisi tersebut, biasanya terjadi peningkatan konsentrasi populasi belalang soliter yang berdatangan dari berbagai lokasi ke suatu lokasi yang secara ekologis sesuai untuk berkembang. Lokasi tersebut biasanya mempunyai lahan yang terbuka atau banyak rerumputan, tanahnya gembur berpasir, dekat sumber air (sungai, danau, rawa) sehingga kondisi tanahnya cukup lembab. Setelah berlangsung 3-4 generasi apabila kondisi lingkungan memungkinkan akan berkembang menjadi fase gregaria, melalui fase transien. Lokasi ini dikenal sebagai lokasi pembiakan awal.
Perubahan fase gregaria kembali ke fase soliter biasanya apabila keadaan lingkungan tidak menguntungkan bagi kehidupannya, terutama karena pengaruh curah hujan, tekanan musuh alami dan atau tindakan manusia melalui usaha pengendalian. Perubahan ini melalui fase transien pula.
Belalang kembara fase gregaria aktif terbang pada siang hari dalam kelompok-kelompok besar. Pada senja hari, kelompok belalang hinggap pada suatu lokasi, biasanya untuk bertelur pada lahan-lahan kosong, berpasir, makan tanaman yang dihinggapi dan kawin. Pada pagi harinya, kelompok belalang terbang untuk berputar-putar atau pindah lokasi. Pertanaman yang dihinggapi pada malam hari tersebut biasanya dimakan sampai habis. Sedangkan kelompok besar nimfa (belalang muda) biasanya berpindah tempat dengan berjalan secara berkelompok. Sepanjang perjalanan biasanya juga memakan tanaman yang dilewatinya.
Tanaman yang paling disukai belalang kembara adalah kelompok “Graminae” yaitu padi, jagung, sorgum, tebu, alang-alang, gelagah dan berbagai jenis rumput. Selain itu, belalang dapat memakan daun kelapa, bambu, kacang tanah, petsai, sawi, kubis daun. Tanaman yang tidak disukai antara lain kacang hijau, kedelai, kacang panjang, ubi kayu, tomat, ubi jalar dan kapas.
Gejala serangan belalang tidak spesifik tergantung pada tipe tanaman yang diserang dan tingkat populasi dari spesies ini. Biasanya bagian tanaman pertama yang diserang adalah daun dan termakan hampir keseluruhan daun termasuk tulang daun jika serangannya berat. Selain itu, spesies ini dapat pula memakan batang dan tongkol jagung jika populasinya sangat tinggi dengan sumber makanan terbatas.
Kandungan komposisi zat makanan pada belalang menurut Farida et al. (2008) yaitu ME (Energi termetabolis) sebesar 5285,91 kcal, PK (Protein Kasar)   70,26%, (Serat Kasar) 20,72%, sedangkan untuk nilai Calsium, Phospor, Lysin dan  Metionin tidak ada.

Persentase karkas
Karkas adalah bagian tubuh unggas setelah dilakukan penyembelihan secara halal, pencabutan bulu, dan pengeluaran jeroan, tanpa kepala, leher, kaki (Standar Nasional Indonesia, 2009). Persentase bobot karkas terhadap bobot hidup sering dijadikan acuan ukuran produksi dari seekor ternak potong. Persentase karkas dipengaruhi oleh genetik, fisiologi, umur dan berat tubuh dan kandungan nutrien pakan selama ternak itik hidup. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) (2009), daging adalah otot skeletal dari karkas ayam yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi manusia. Menurut Soeparno (2005), daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Menurut Soeparno (2005), faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh. Faktor lingkungan dapat terbagi menjadi dua kategori yaitu faktor fisiologis dan nutrien. Proporsi tulang, otot dan lemak sebagai komponen karkas dipengaruhi oleh umur, berat hidup dan kadar laju pertumbuhan. Bila proporsi salah satu variabel lebih tinggi, maka proporsi salah satu atau kedua variabel lainnya lebih rendah (Soeparno, 2005).
Definisi karkas menurut Swatland (1984) persentase karkas ayam dinyatakan dengan rumus perbandingan bobot karkas dengan bobot hidup dikalikan dengan 100%. Karkas ayam adalah ayam yang sudah dipotong dan telah dibersihkan bulunya tanpa kepala, leher, kaki dan jeroan.Bagian dada dan paha adalah salah satu bagian karkas yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi (Omojola, 2007).
Persentase karkas merupakan faktor penting untuk menilai produksi ternak pedaging. Umumnya persentase dan kualitas karkas pada ayam muda lebih baik dibanding dengan ayam tua. Pada umur yang sama ayam jantan menghasilkan persentase karkas yang lebih tinggi dibanding ayam betina (Soeparno, 2005).

Lemak Abdominal
Pada dasarnya lemak daging pada ayam kampung dikategorikan menjadi dua jenis yaitu lemak yang secara fisiologis diperlukan oleh tubuh dan lemak limbah. Lemak abdominal adalah salah satu contoh lemak limbah. Batasan tentang lemak abdominal yaitu lemak yang terdapat dalam rongga perut di sekitar bursa fabricus dan kloaka (Hargis dan Creger, 1980).
Lemak abdominal merupakan salah satu indikator dalam menilai efisiensi pemanfaatan pakan. Semakin tinggi persentase lemak abdominal mengindikasikan bahwa penggunaan pakan tersebut tidak efisien. Adanya timbunan lemak abdominal pada rongga perut akan mempengaruhi bobot karkas, sebab lemak abdominal ini akan dikeluarkan dari karkasnya pada saat pemotongan. Jumlah lemak abdominal dalam tubuh dinyatakan dengan persentase terhadap bobot tubuh (Swatland, 1984). Kandungan lemak abdominal dikatakan berlebihan apabila mencapai 3 sampai 5%. Pada ayam jantan persentase bobot lemak abdominal berkisar antara 1,070 % sampai dengan 3,870% sedangkan untuk ayam betina berkisar 1,070 % sampai dengan 4%.
Lemak karkas mempunyai korelasi positif dengan lemak abdominal artinya penimbunan lemak dalam rongga tubuh adalah sejalan dengan penimbunan lemak dalam karkas. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penimbunan lemak adalah suhu kandang, umur, jenis kelamin dan kandungan energi dalam ransum (Nelwida, 2003).

Share this

0 Comment to "CONTOH SKRIPSI PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG BELALANG (Locusta migratoria) DALAM RANSUM TERHADAP PERSENTASE KARKAS DAN LEMAK ABDOMINAL AYAM KAMPUNG BAB II"

Posting Komentar