CONTOH SKRIPSI KAJIAN PUSTAKA ANALISIS GAYA BELAJAR SISWA YANG MENYONTEK SAAT ULANGAN


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Gaya Belajar
Menurut Khanifatul (2013, hlm. 5) “Belajar adalah proses perubahan perilaku untuk memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan sesuatu hal baru serta diarahkan pada suatu tujuan”. Belajar akan terasa nyaman dan menyenangkan jika kondisi-baik fisik, psikis, maupun lingkungan juga mendukung. Hal ini berhubungan dengan gaya belajar setiap orang. Setiap orang dengan gaya belajarnya masing-masing memiliki kenyamanan situasi belajar yang berbeda-beda. Karena pada setiap gaya belajar terdapat karakteristiknya tersendiri.
Kemampuan seseorang untuk memahami pelajaran berbeda-beda tingkatnya. Ada yang cepat, sedang, dan lambat. Oleh karena itu, mereka seringkali harus menempuh cara berbeda untuk bisa memahami sebuah informasi atau pelajaran yang sama. Cara tersebut dinamakan dengan gaya belajar. Setiap individu memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Namun, hal yang penting untuk dimengerti bahwa tidak ada gaya belajar yang paling baik atau paling buruk, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Hamzah Uno (2006, hlm. 130) mengungkapkan bahwa “Apapun cara belajar yang dipilih, perbedaan gaya belajar itu menunjukkan cara tercepat dan terbaik bagi setiap individu untuk bisa menyerap sebuah informasi dari luar dirinya”. Gaya belajar merupakan sesuatu yang sangat penting dan sangat menentukan bagi siapapun dalam melaksanakan tugas belajarnya baik di rumah, di masyarakat, terutama di sekolah. Siapapun dapat belajar dengan lebih mudah, ketika ia menemukan gaya belajar yang cocok dengan dirinya sendiri.
Siswa kita memiliki cara yang berbeda dalam belajar. Sebagian dari mereka adalah pembelajar visual, sebagian lagi adalah audio, dan yang lainnya kinestetik. Prefensi atau kekuatan belajar ini berkaitan dengan hal yang dapat membuat siswa lebih mudah memperhatikan (Sprenger, 2003: hlm 25)
Gaya belajar dibagi ke dalam tiga jenis yaitu:

1.      Visual
Siswa dengan gaya belajar ini mudah menyerap informasi dari kontak mata dengan apa yang dipelajari. Sehingga, ketika pembelajaran ia akan sangat perlu memperhatikan pelajaran. Dengan cara seperti ini guru merasa senang karena siswanya memperhatikan pelajarannya.
2.      Auditorial
Siswa dengan gaya belajar ini tidak harus selalu dengan kontak mata, tapi cukup mengoptimalkan pendengarannya. Siswa ini terkesan tidak memperhatikan pembicaraan atau pelajaran ketika pembelajaran, walaupun sebenarnya ia mendengar.
3.      Kinestetik
Siswa dengan gaya belajar ini cenderung aktif. Ia harus bereksplorasi dan mengoptimalkan fisiknya. Siswa ini harus belajar dengan menyentuh, bergerak, dan melakukan. Sehingga ia tidak akan bertahan duduk berlama-lama jika hanya mendengarkan ceramah saja.
Untuk lebih rincinya, berikut adalah ciri-ciri dari setiap gaya belajar menurut DePorter (2010, hlm.116):
1.      Gaya belajar visual
a.       Rapi dan teratur
b.      Berbicara dengan cepat
c.       Perencana dan pengatur jangka panjang yang baik
d.      Mementingkan penampilan, baik dalam hal pakaian maupun presentasi
e.       Pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka
f.       Mengingat apa yang dilihat, daripada yang didengar
g.      Mengingat dengan asosiasi visual
h.      Biasanya terganggu oleh keributan
i.        Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan sering kali minta bantuan orang untuk mengulanginya
j.        Pembaca cepat dan tekun
k.      Lebih suka membaca daripada dibacakan
l.        Membutuhkan pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang suatu masalah atau proyek
m.    Mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di telepon dan dalam rapat
n.      Lupa menyampaikan pesa verbal kepada orang lain
o.      Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat ya atau tidak
p.      Lebih suka melakukan demonstrasi daripada berpidato
q.      Lebih suka seni daripada musik
r.        Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata-kata
s.       Kadang-kadang kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin memperhatikan
2.      Gaya belajar auditorial
a.       Berbicara kepada diri sendiri saat bekerja
b.      Mudah terganggu oleh keributan
c.       Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca
d.      Senang membaca dengan keras dan mendengarkan
e.       Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan warna suara
f.       Merasa kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita
g.      Berbicara dalam irama yang terpola
h.      Biasanya pembicara yang fasih
i.        Lebih suka musik daripada seni
j.        Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat
k.      Suka berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar
l.        Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visualisasi
m.    Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya
n.      Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik
3.      Kinestetik
a.       Berbicara perlahan
b.      Menanggapi perhatian fisik
c.       Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka
d.      Berdiri dekat ketika berbicara dengan orang
e.       Selalu berorientasi pada fisik dan banyak gerak
f.       Memepunyai perkembangan awal otot-otot yang besar
g.      Belajar melalui memanipulasi dan praktik
h.      Menghafal dnegan cara berjalan dan melihat
i.        Menggunakan jari sebagai penujuk ketika membaca
j.        Banyak menggunakan isyarat tubuh
k.      Tidak dapat duduk diam untuk waktu lama
l.        Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang telah pernah berada di tempat itu
m.    Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi
n.      Menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot, mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca
o.      Kemungkinan tulisannya jelek
p.      Ingin melakuan segala sesuatu
q.      Menyukai permainan yang menyibukkan
Selanjutnya Khanifatul (2013, hlm. 52) mengungkapkan ciri-ciri bahasa tubuh yang menunjukkan gaya belajar, diantaranya:
a.       Seorang visual biasanya duduk tegak dan mengikuti penyaji dengan matanya.
b.      Seorang auditorial sering mengulang dengan lembut kata-kata yang diucapkan penyaji atau sering menganggukkan kepalanya saat fasilitator menyajikan informasi lisan.
c.       Seorang kinestetik sering menunduk saat ia mendengarkan.
Jika seseorang tidak dapat melihat atau mendengar atau tidak dapat merasakan tekstur, bentuk, temperatur, atau berat, atau penolakan lingkungan, berarti seseorang tersebut sama sekali tidak mempunyai gaya belajar. Kebanyakan kita belajar dengan banyak gaya, namun kita biasanya lebih menyukai satu cara dari pada yang lainnya. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa mereka lebih suka pada satu gaya karena tak ada sesuatu yang eksternal mengatakan kepada mereka bahwa mereka berbeda dari orang lain.
Adalah mudah untuk mengetahui modalitas orang lain untuk memperhatikan kata-kata apa yang mereka gunakan ketika mereka berkomunikasi. Kata-kata ini disebut predikat atau kata-kata proses. Ketika situasi diserap dalam pikiran seseorang, ia memproses modalitas pilihan orang itu; kata-kata dan frase-frase yang digunakan orang itu untuk menjelaskannya menunjukkan modalitas pribadi orang tersebut. (De Porter, 2010, hlm. 120)

            Munif Chatib (2011) mengatakan bahwa informasi akan masuk ke dalam otak siswa dan tak terlupakan seumur hidup apabila informasi tersebut ditangkap berdasarkan gaya belajar siswa.
Selaras dengan itu, Sprenger (2011, hlm. 25) memberikan gambaran bagi guru dalam mengajar berdasarkan masing-masing gaya belajar yang dimiliki siswa, diantaranya:
1.      Pembelajaran visual.
Pembelajar ini mungkin senang dengan gambaran grafis, transparasi OHP, dan mungkin buku pegangan. Mereka mungkin akan lebih mudah menangkap pelajaran jika anda adalah guru yang lebih banyak mengajar secara visual. Mereka akan memberikan perhatian khusus untuk informasi visual, termasuk tulisan. Sekolah biasanya mengakomodasi tipe pembelajar ini. untuk menjangkau perhatian mereka, gambar-gambar berwarna yang terang, video klip, dan buku pegangan akan efektif bagi mereka.
2.      Pembelajar auditorial.
Siswa ini perlu banyak bicara sebanyak mereka mendengar. Informasi menjadi nyata bagi mereka melalui diskusi. Gambar-gambar, proyektor dan makalah mungkin dilupakan mereka, namun mereka senang masuk ke dalam diskusi. Untuk menjangkau siswa semacam ini, musik atau debat bisa menjadi kunci. Daya ingat mereka kuat secara audio, dengan kata lain, mereka lebih mengingat apa yang mereka dengar daripada apa yang mereka lihat atau rasa.
3.      Pembelajar kinestetik.
Mereka mungkin akan bergoyang-goyang dan menari-nari atau memerlukan tangan saat belajar. Untuk para siswa ini, gerakan tidak bisa dihindari, jadi pengendalian gerak selalu menjadi pilihan. Mereka mungkin butuh menjadi apa yang mereka sedang pelajari. Untuk menarik perhatian mereka, sebuah kegiatan yang membuat mereka dapat memainkan peran, menciptakan konsep, atau bekerja dengan teknologi seperti komputer, akan sangat membantu.
Adapun menurut Hamzah Uno (2006, hlm. 132) ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan untuk menghadapi keberagaman gaya belajar pada siswa, antara lain:
1.      Visual
Orang visual memiliki kesulitan dalam berdialog secara langsung, lalu terlalu reaktif terhadap suara, dan sulit mengikuti anjuran secara lisan. Salah satu pendekatannya adalah mengajar dengan menggunakan beragam bentuk grafis untuk menyampaikan informasi atau materi pelajaran. Perangkat grafis itu berupa film, slide, gambar ilustrasi, kartu gambar, dan kartu gambar berseri yang bisa digunakan untuk menjelaskan suatu informasi secara berurutan.
2.      Auditorial
Orang auditorial memiliki kesulitan untuk menyerap informasi dalam bentuk tulisan secara langsung. Sedikit memiliki kesulitan dalam membaca ataupun menulis. Sehingga pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan terlibat dalam kelompok diskusi, juga di akhir pembelajaran hendaknya melakukan review secara verbal.
3.      Tactual
Orang tactual atau serupa dengan kinestetik ini tidak bisa duduk terlalu lama untuk mendengarkan penjelasan, merasa lebih baik bila disertai dengan kegiatan fisik. Pendekatan untuk siswa dengan karakteristik seperti ini adalah belajar berdasarkan pengalaman dengan menggunakan berbagai model atau peraga, bekerja di laboratorium atau bermain sambil belajar. Penggunaan komputer bagi orang tactual ini akan sangat membantu, karena dengan komputer ia bisa terlibat aktif dalam melakukan touch, sekaligus menyerap informasi dalam bentuk gambar dan tulisan.
Karena guru adalah manusia pembelajar, yang mempunyai keikhlasan dalam mengajar dan belajar, dan senantiasa berintrospeksi apabila ada siswa yang tidak memahami pelajaran. Maka setiap guru harus berupaya untuk mengajar dengan strategi pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar siswa. Sehingga siswa akan dengan mudah menyerap pelajaran di kelas, memahami, dan mengingatnya dalam jangka waktu yang lama.
“Gaya belajar setiap orang dipengaruhi oleh faktor alamiah dan faktor lingkungan”. (Susilo, 2009, hlm. 98)
Oleh karena itu, jika mengajar yang kita pahami adalah sebagai proses membantu siswa belajar, maka kita berusaha membantu mereka memahami “Style of Learning”nya, dengan meningkatkan segi-segi yang kuat dan memperbaiki sisi-sisi lemah daripadanya.


B.     Menyontek
Eri Sudewo (dalam Asep Sapa’at, 2012, hlm.157) mengatakan
Watak tak lain adalah perilaku. Ada perilaku baik dan ada yang buruk. Yang baik disebut karakter, perilaku buruk dikatakan tabiat. Baik buruk, ternyata itu perjalanan. Bicara perjalanan adalah bicara proses. Bicara proses adalah bicara dinamika pembentukan watak seseorang. Yang baik buruknya amat tergantung pada latar keluarga, pengaruh lingkungan, serta tuntunan nilai dan norma adat tradisi, kepercayaan, dan agama.
Istilah menyontek yang sudah tidak asing di telinga setiap orang, menjadikan salah satu hal yang hampir terlupakan dalam dunia pendidikan. Satu bentuk perilaku kurang baik yang muncul pada siswa. Kurangnya perhatian menangani masalah menyontek membuat pertanyaan tersendiri menucul definisi yang mengartikan mengenai perilaku menyontek ditinjau dari berbagai perspektif kelimuan.
Menyontek adalah tindakan koruptif yang mengacu kepada kebohongan akademik. Abdullah Alhadza dalam Satriya (2011) mengutip pendapat dari Bower (1964) yang mendefinisikan “cheating is manifestation of using illigitimate means to achieve a legitimate end (achieve academic success or avoid academic failure),” maksudnya “menyontek” adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis.
Dalam konteks pendidikan di sekolah, beberapa perbuatan yang termasuk dalam kategori menyontek antara lain adalah
a.       Meniru pekerjaan teman,
b.      Bertanya langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes/ujian,
c.       Membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada pakaian saat masuk ke ruang ujian,
d.      Menerima dropping jawaban dari pihak luar,
e.       Mencari bocoran soal,
f.       Arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman,
g.      Menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas.
Asep Safaat (2012, hlm. 233) menyatakan, “Memilih sikap menyontek, itu berisiko. Memutuskan bersikap jujur juga tak kalah berisiko. Mengedepankan hati nurani dalam memilih suatu sikap, itu cara mendidik karakter yang sesungguhnya”.
 Banyaknya bentuk menyontek yang dipraktikkan siswa mulai dari cara yang sederhana seperti melihat jawaban teman, bertanya atau membuka buku sampai dengan cara yang canggih sekalipun seperti menggunakan media handphone untuk browsing jawaban ketika ujian. Dengan demikian hal ini membuat perilaku menyontek semakin menjamur di dunia pendidikan.
Pendapat lain dinyatakan oleh Stephen Davis (2009) “Cheating can be defined as deceiving or depriving by trickery, defrauding, misleading or fooling another.” Maksudnya menyontek dapat didefinisikan sebagai menipu atau merampas dengan tipu daya, menipu, menyesatkan atau menipu orang lain.
Bisa terlihat bahwa perbuatan ini memang bukan perbuatan yang bisa terus menerus kita anggap wajar, sehingga tidak ada penyelesaian yang dilakukan untuk mengubah kebiasaan seperti ini terjadi di sekolah khususnya.
Nilai jujur bisa diajarkan melalui penyampaian materi pelajaran, yaitu pengajaran tentang kejujuran. Ujian kejujuran sesungguhnya hanya akan terjadi ketika siswa mempunyai kesempatan untuk menyontek, tetapi dia memutuskan untuk tetap jujur.
Seseorang dengan motivasi berprestasi tinggi ingin mengerjakan sesuatu dengan baik dan mereka mempunyai standar yang tinggi untuk kualitas hasil pekerjaan. Seseorang dengan motivasi berprestasi rendah cenderung tidak mudah dalam mengatasi godaan untuk tidak menyontek.
Orang yang dominan oleh pusat kendali internal mempercayai bahwa kemajuan dalam hidup ditentukan oleh faktor-faktor dari dalam diri sendiri. Mereka bekerja keras, mempunyai cita-cita tinggi, ulet, dan menganggap kemajuan dirinya disebabkan ia bertanggungjawab terhadap hasil kerjanya. Orang-orang yang lebih dominan dikendalikan faktor-faktor dari luar dirinya, mempercayai bahwa keberhasilan ditentukan oleh hal-hal dari luar dirinya, seperti nasib baik, adanya koneksi, bukan karena kerja keras diri sendiri.
“Our personal histories form a fabric of perspectives on not just cheating but also learning itself. We often learn more from our mistakes than when everything goes perfectly. Those responsible for learning, including each of us, know many of the obstacles to learning. Teaching is about removing obstacles to learning and reinforcing fundamental curiosities about how the world works. We often do not succed because of the variety of ways learning occurs, unevenness in the pace of learning, or misunderstandings about how learning can happen. Student cheating is not only an obstacle to learning, of course, but unsophisticated ways in confronting it may also inhibit learning..” (Stephen Davis, 2009, hlm. 71)
Dikatakan bahwa kita membentuk perspektif tentang menyontek bukan hanya kecurangannya saja tetapi juga belajarnya itu sendiri. Kita sering belajar lebih banyak dari kesalahan kita daripada ketika semuanya berjalan dengan sempurna. Mereka yang bertanggung jawab untuk belajar, termasuk masing-masing dari kita, mengatahui banyak hambatan untuk belajar. Mengajar adalah tentang bagaimana menghapus hambatan untuk belajar dan memperkuat keingintahuan mendasar tentang bagaimana dunia bekerja. Kita sering tidak mengalami sukses karena berbagai cara pembelajaran terjadi, ketidakrataan dalam kecepatan belajar, atau kesalahpahaman tentang bagaimana belajar bisa terjadi. Siswa menyontek bukan hanya hambatan untuk belajar, tentu saja, tapi cara-cara canggih dalam menghadapi hal itu juga dapat menghambat belajar.
Szabo dan Underwood (dalam Anderman dan Murdock, 2007) mengidentifikasi beberapa faktor yang termasuk pada faktor situasional yang menyebabkan siswa menyontek adalah sebagai berikut:
1.      Materi ujian yang diberikan oleh guru terlalu sulit atau tidak dipahami oleh siswa sehingga siswa menjadi gelap mata dan mencari jalan pintas untuk menyelesaikan ujian yakni dengan menyontek.
2.      Adanya kompetisi antara satu siswa dengan siswa yang lainnya sehingga menimbulkan tekanan terhadap siswa yang mempunyai potensi yang rendah untuk menyamakan kedudukan dengan temannya yang lain.
3.      Perilaku menyontek tidak lepas dari pengaruh adanya pengakuan atau persetujuan terhadap tindakan menyontek dan contoh tindakan menyontek dilakukan oleh teman sebaya dalam satu kelompok atau teman sekelas.
4.      Karakteristik guru atau pengawas ketika ulangan juga berpengaruh. Hal ini telah dipahami oleh banyak siswa, pengawas yang baik atau tidak terlalu ketat akan membuat siswa merasa aman untuk menyontek sedangkan apabila pengawas ketika ujian benar-benar memperhatikan siswa serta tidak memberikan sedikitpun kesempatan siswa untuk menyontek maka siswa pun akan merasa takut walaupun hanya melirik kepada temnanya.
Keempat faktor tersebut sangat berhubungan dengan gaya belajar seseorang. Bila saat kegiatan belajar mengajar kebutuhan gaya belajar masing-masing siswa terpenuhi, maka siswa dapat menyerap pelajaran dan mengerjakan soal ulangan dengan mudah tanpa menyontek.
“Berkahnya belajar tanpa menyontek adalah kita benar-benar menguasai pelajaran kita” (Yunsirno, 2010, hlm. 133). Bila kita menguasai materi pelajaran, maka tidak lagi menggunakan menyontek sebagai jalan pintas untuk mendapatkan nilai yang bagus tetapi tidak murni hasil usaha sendiri.
Selain itu, menyontek merupakan perbuatan yang tidak terpuji, membohongi diri sendiri untuk mendapatkan kepuasaan. Maka Olivia (2011, hlm. 13) menyatakan “Ingatlah bahwa menyontek itu salah dan kita berdosa bila melakukannya karena menipu diri sendiri dan orang lain”.

Share this

0 Comment to "CONTOH SKRIPSI KAJIAN PUSTAKA ANALISIS GAYA BELAJAR SISWA YANG MENYONTEK SAAT ULANGAN"

Posting Komentar